Pro-Kontra Hermeneutika Al-Qur’an

Date:

Share post:

IslamIndonesia.co – Hermeneutika yang notabene berasal dari tradisi Barat, khususnya Yahudi dan Kristen, sampai sekarang masih belum bisa diterima oleh semua kalangan sarjana muslim sebagai metode interpretasi teks al-Qur’an.

Menurut Khaled Abou El Fadl, kelompok yang pro terhadap hermenutika sebagai metode interpretasi al-Qur’an menganggap bahwa dengan hermeneutika, esensi dari tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk umat manusia dapat terwujud.

Nash diperlakukan sebagai teks yang selalu terbuka untuk berbagai pemahaman dan penafsiran. Nash yang terbuka itu selain kemudian mengandung tafsir yang banyak juga menjadikan nash menduduki posisi sentral.

Seorang pembaca akan senantiasa kembali kepadanya karena dengan cara itu ia akan mendapatkan ‘pencerahan’ dan penafsiran yang baru serta segar. Inilah yang disebut dialektika antara teks dan pembaca.

Adapun kalangan yang menolak terhadap gagasan hermeneutika sebagai metode interpretasi teks al-Qur’an beralasan dengan mengetengahkan keberatan, di antaranya:

  • Munculnya faham relativisme kebenaran. Artinya, bahwa di sanatidak ada pemahaman yang mutlak benar, dan sebaliknya, semuanya menjadi relatif. Sesuatu yang ditangkap sebagai kebenaran menurut seseorang, boleh jadi menjadi salah menurut orang lain. Kebenaran menjadi terikat dan bergantung pada zaman dan tempat tertentu.
  • Munculnya sikap yang menuntut praktisi hermenutik untuk selalu skeptik, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya. Ini ujung-ujungnya dapat meragukan kebenaran al-Qur’an itu sendiri.
  • Tampaknya, dengan hermeneutika, akan terjadi pengkaburan hukum-hukum fiqih yang telah establish dan mapan.

Dialog Pro-Kontra Hermeneutika

Menengahi perdebatan antara pendukung dan penolak hermeneutika, perlu adanya kompromi antara dua pandangan tersebut. Menolak hermeneutika secara mutlak hanya karena berasal dari Barat atau non-muslim jelas bukan merupakan tindakan yang bijaksana. Sebab, bisa jadi ada teori atau metode-metode yang diterapkan dalam hermeneutika yang dapat diterapkan dalam memahami al-Qur’an.

Sebaliknya, menerima konsep ini secara keseluruhan, tanpa adanya kritik dan menganggap bahwa metode tafsir dan takwil yang selama ini digunakan oleh para mufassir dan ilmuwan muslim telah ketinggalan zaman dan harus diganti juga merupakan tindakan yang gegabah.

Kelompok yang menolak hermeneutika berpendapat bahwa hermeneutika berbeda dengan tafsir, sedangkan kelompok yang menerima berkeyakinan hermeneutika telah diterapkan dalam tafsir sekalipun tidak secara definitif.

Mengkompromikan dua pandangan ini, kita harus bisa menjadikan kehadiran hermeneutika bukanlah untuk menggantikan Ulum al-Qur’an, melainkan dapat dijadikan sebagai pelengkap atau alternatif. Umat Islam meyakini bahwa al-Qur’an bersifat sakral, namun metodologi yang digunakan untuk memahaminya, seperti tafsir dan takwil dan metode apapun tidaklah bersifat sakral.

Pemahaman semacam inilah yang semestinya disebarkan. Oleh karena itu, mengunakan metode apa saja dibolehkan, asalkan tidak mengurangi kemuliaan al-Qur’an dan bertujuan untuk menjadikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang bisa dipahami oleh semua kalangan, serta sesuai di setiap zaman dan tempat. Sebab, meskipun al-Qur’an telah final, namun pemahaman terhadap teks al-Qur’an akan terus berlangsung, sepanjang zaman.

Al-Qur’an memerintahkan manusia berpikir salah satunya bisa jadi agar manusia mampu menangkap makna dan pesan yang dikandungnya. Dalam mengungkap makna tersebut, tentu tidak hanya ada satu metode yang bisa digunakan.

Umat Islam seyogyanya bisa menerima perbedaan cara penafsiran dan pemahaman yang ada selama masih dalam rangka mengungkap makna al-Qur’an, bukan untuk mencurigai atau mengkritisi kesakralannya.

Sejalan dengan hal tersebut, Abdullah Darraz menganalogikan al-Qur’an bagaikan berlian, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari masingmasing sudut, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia dapat lebih banyak daripada apa yang anda lihat.

Namun demikian, tidak bearti bahwa setiap orang bebas mengeluarkan pendapat tanpa memenuhi persyaratan ilmiah yang telah ditetapkan oleh pemilik otoritas ilmiah. Dalam hal ini, setiap orang boleh saja menafsirkan al-Qur’an, tetapi tetap harus memperhatikan syarat-syarat dan rambu-rambu yang telah dirumuskan oleh ulama yang berkompeten di bidangnya.

M. Quraish Shihab, ketika menguraikan tentang pandangan ulama yang menganggap hermeneutika sebagai paradigma baru dalam penafsiran, menjelaskan, jika hermeneutika dipahami dengan penjelasan tentang maksud firman-firman Tuhan atau teks kitab suci, tidaklah keliru bila dikatakan bahwa sebenarnya hermeneutika ini telah dikenal oleh ulama Islam, jauh sebelum istilah ini muncul dan berkembang di Barat dan sebagian bahasan dari hermeneutika yang muncul dewasa ini telah dikenal oleh ulama sebelumnya.

Kemudian, dalam usaha mengkompromikan kontroversi seputar hermeneutika dan aplikasinya dalam memahami al-Qur’an, Sahiron mencoba mengintegrasikan antara tafsir dan hermeneutika.

  • Pertama, secara terminologi, hermeneutika (dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan”) dan ilmu tafsir pada dasar tidaklah berbeda. Keduanya mengajarkan kepada kita bagaimana kita memahami dan menafsirkan teks secara benar dan cermat.
  • Kedua, yang membedakan antara keduanya, selain sejarah kemunculannya, adalah ruang lingkup dan objek pembahasannya: hermeneutika, sebagaimana diungkapkan di atas, mencakup seluruh objek penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa atau teks), sementara ilmu tafsir hanya berkaitan dengan teks. Teks sebagai objek inilah yang menyatukan antara hermeneutika dengan ilmu tafsir.
  • Ketiga, memang benar bahwa objek utama ilmu tafsir adalah teks al-Qur’an, sementara objek utama hermeneutika pada awalnya adalah Bibel, di mana proses pewahyuan kedua kitab suci ini berbeda. Dalam hal ini, mungkin orang mempertanyakan dan meragukan ketepatan penerapan hermeneutika dalam penafsiran alQur’an dan begitu pula sebaliknya.

Keraguan ini bisa diatasi dengan argumentasi bahwa meskipun al-Qur’an diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai wahyu Allah yang verbatim, sementara Bibel diyakini umat Kristiani sebagai wahyu Tuhan dalam bentuk inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan Ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti, baik melalui hermeneutika maupun ilmu tafsir.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related articles

Penyakit Ain itu Apa, Penyebab dan Doa Mengatasinya

IslamIndonesia.co – Penyakit Ain itu apa? mungkin itulah yang saat ini sedang dipikirkan. Sebab sebagian besar orang masih...

Eskalasi Konflik Israel Palestina dan Bantuan Kemanusiaan Negara Lain

IslamIndonesia.co – Konflik Israel Palestina masih berkepanjangan, seperti tidak ada akhirnya. Sampai saat ini serangan masih terjadi. Pada 7...

Khutbah Idul Fitri: Titik Awal Memulai Hidup Baru

IslamIndonesia.co - السلام عليكم ورحمة الله وربركاته الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله...

5 Sunnah di Hari Raya Idul Fitri

IslamIndonesia.co - Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang sangat penting bagi umat muslim di seluruh dunia.  Pada hari...