Kontribusi Al-Baiḍāwī pada Tafsir Linguis-Teologis

Date:

Share post:

Pada dasarnya, al-Baiḍāwī dalam menyusun Anwār at-Tanzīl wa Asrār at-Ta’wīl tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh para penafsir sebelumnya.

Al-Badawi mengadopsi metode yang digunakan oleh az-Zamakhsyari dalam mengintegrasikan pembahasan ayat atau surat dengan ayat atau surat lain secara linguistik sebagaimana digunakan dalam Al-Kasysyāf.

Dalam catatan Gabriel Fouad Haddad, al-Baiḍāwī juga terpengaruh pandangan al-Rāzī dalam Mafātih al-Gaib terkait penggunaan multidisiplin keilmuan—seperti ilmu kalam, hikmah, dan ushuluddin—untuk menafsirkan ayat.

Begitu juga, beberapa kali al-Baiḍāwī merujuk pada Mufradāt al-Qur’ān karya al-Rāgib al-Aṣfihānī.

Az-Zuhailī berpendapat bahwa Anwārut Tanzīl merupakan kitab tafsir yang memadukan al-ma’tsūr (riwayat) dan al-ra’yi (akal) atau perpaduan antara tafsir dan ta’wil yang berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.

Sejalan dengan hal itu, Haddad juga menjelaskan bahwa al-Baiḍāwī tidak menggantungkan semua penafsirannya kepada hadits atau riwayat.

Ia menggunakan pendekatan linguistik, melakukan analisis stilistika, dan memberikan kritik. Ia melakukan tarjih atas makna-makna lafal dengan menunjukkan bukti-bukti.

Haddad menjelaskan bahwa karya al-Baiḍāwī tersebut merupakan produk tafsir yang dikemas melalui gramatika dan gaya bahasa Arab, yakni meliputi aspek linguistik, retorika, dan semantik, dengan mengedepankan konsep i’jāz.

Aspek linguis dalam Anwārut Tanzīl misalnya bisa dilihat pada penafsiran al-Baiḍāwī atas QS. al-Fatiḥah [1]: 2, yakni pada kata al-ḥamdu. Al-Baiḍāwī menjelaskan bahwa al-ḥamdu bermakna pujian atau penghormatan atas keindahan yang bebas (al-jamīl al-ikhtiyārī), dan berbeda dengan al-madḥ yang menurutnya berarti pujian akan keindahan saja.

Kemudian, ia menjelaskan makna al-syukr, yakni penerimaan nikmat secara perkataan, perbuatan, dan keyakinan.

Ia lantas mengutip sabda Nabi yang menjelaskan bahwa al-hamdu (pujian) merupakan pokok dari syukur.

Selain itu, al-Baiḍāwī juga mengulas i’rab ayat, dan menunjukkan faedah pemaknaan yang berasal dari kaidah nahwu.

Ia menjelaskan bahwa penggunaan alif-lam (ta’rīf) dalam kata al-ḥamdu ialah lil jinsi (untuk jenis), yang berarti penunjuk (isyārah) atas pengetahuan manusia terkait hakikat pujian, atau li al-istigrāq (menghabiskan jenis) bahwa seluruh pujian hanyalah milik-Nya. 

Ia sering memulai penjelasannya atas ayat dengan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan dan perbedaan dengan lafal lain, serta mengupas kedudukan kata dalam kalimat, i’rab, dan pengaruh kaidah-kaidah nahwu.

Haddad melihat bahwa, ketika al-Baiḍāwī menganalisis ayat atau lafal, ia juga memperhatikan pandangan mazhab nahwu Basrah dan Kuffah, bahkan membandingkan keduanya.

Kemudian, pengarang Anwārut Tanzīl tersebut juga tidak hanya merujuk qiraat yang mutawattir ketika menjelaskan ayat, tetapi ia menaruh perhatian pula kepada riwayat-riwayat qiraat yang syaż.

Adapun pada wilayah tafsir teologis, az-Zuhailī menyatakan bahwa al-Baiḍāwī menjadikan dasar-dasar pandangan ahlus sunnah sebagai pijakan.

Ia juga, misalnya, menunjukkan perbedaan pandangan antara Mu’tazilah, Khawarij, dan Asy’ariyah terkait suatu topik, kemudian mengunggulkan pandangan Asy’ariyah.

Di sisi lain, ketika berhadapan dengan ayat fiqh, al-Baiḍāwī mengambil posisi sebagai pendukung Syafi’iyah, seperti ketika ia memberikan komentar atas kata qurū‘ pada QS. al-Baqarah [2]: 228.

Selain itu, ketika menafsirkan konsep iman dalam QS. al-Baqarah [2]: 3, al-Baiḍāwī juga sangat terlihat menonjolkan dan mengunggulkan konsep iman sebagaimana dipercaya oleh kalangan Asy’ariyah.

Bahkan, meskipun al-Baiḍāwī menyajikan pandangan dari Muktazilah dan Khawarij, ia tampak seperti hendak menunjukkan kelemahan pemahaman kedua kelompok tersebut dalam memahami konsep iman.

Al-Baiḍāwī menguatkan pendapatnya dengan memaparkan dalil dari ayat-ayat lain yang berisi penegasan keimanan di hati, seperti al-Mujadilah (58): 22, an-Nahl (16): 106, al-Maidah (5): 41, dan al-Hujurat (49): 41.

Kemudian, amal shalih mengiringi keimanan yang sudah tertancap di hati, serta ikrar menurutnya terletak bersamaan dengan pembenaran dalam hati.

Al-Baiḍāwī dalam Anwārut Tanzīl beberapa kali juga cukup keras mengkritik pandangan Syi’ah, salah satunya ialah ketika menafsirkan ahl al-bait pada al-Aḥzāb [33]: 33.

Menurutnya, ahl al-bait pada ayat tersebut bukan bermakna Fatimah, Ali, dan Hasan serta Husain, melainkan nida’ (panggilan) atau madḥ (sanjungan).

Menurutnya, pemahaman kaum Syi’ah bahwa ayat tersebut menunjukkan ke-ma’ṣūm-an ahlul bait tidak memiliki dasar yang kuat.

Ia juga memberikan kritik pedas terhadap Muktazilah dalam memandang status orang fasik dalam QS. al-Baqarah [2]: 26, bahwa orang fasik menempati tempat antara mukmin dan kafir.

Berdasarkan konten kitab, Anwārut Tanzīl terbilang sangat menonjol dalam hal linguistik.

Ia memang terpengaruh oleh az-Zamakhsyari dalam hal penyajian tafsir yang diulas dari sisi linguistiknya, dan pengarang Al-Kasyaf tersebut banyak dipengaruhi oleh pandangan al-Jurjānī.

Meskipun demikian, al-Baiḍāwī juga banyak mengkritik penafsiran az-Zamakhsyari, atau menambahkan pandangan lain, dengan memperhatikan analisis linguistik, seperti ketika menafsirkan al-magḍūb dan al-ḍāllīn.

Haddad melihat bahwa Anwārut Tanzīl bahkan lebih unggul dari Al-Kasyaf dalam beberapa hal.

  • Pertama, lebih jelas dalam memaparkan diskusi terkait ushul fiqh dari ayat terkait.
  • Kedua, al-Baiḍāwī dalam karyanya tampak lebih menguasai intra-tekstualis al-Qur’an dan bukti-bukti inter-tekstualis dengan hadits.
  • Ketiga, lebih berhasil menunjukkan implikasi hukum/fiqh dari hadits-hadits yang terkait, lebih khususnya dari sudut pandangan Syafi’iyah dan beberapa Hanafiyah.
  • Keempat, lebih kuat dalam menjelaskan ijāz balāgī al-Qur’an.
  • Kelima, dalam melakukan analisis sintaksis dan etimologis, al-Baiḍāwī merujuk lebih banyak referensi tafsir untuk dipertimbangkan, sehingga menghasilkan tafsir yang sejalan dengan tafsir-tafsir itu, bahkan yang naqli.

Berbeda dengan az-Zamakhsyari yang berkiblat pada Abū Alī al-Fārisi dan Ibnu Jinni yang tidak begitu memerhatikan tafsir-tafsir lain.

Selain itu, pada ayat-ayat yang bersinggungan dengan teologi, al-Baiḍāwī tidak absen untuk mengunggulkan pandangan Asy’ariyah, bahkan beberapa kali melemparkan kritik kepada pemahaman dari kelompok di luar Asy’ariyah, apabila sangat bertentangan.

Ia juga beberapa kali mengunggulkan pandangan fiqh Syafi’iyah ketika berhadapan dengan ayat yang diperdebatkan secara fiqh.

Hal ini agaknya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa ia pengikut serta pendukung Asy’ariyah-Syafi’iyah sebagaimana keluarganya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related articles

Penyakit Ain itu Apa, Penyebab dan Doa Mengatasinya

IslamIndonesia.co – Penyakit Ain itu apa? mungkin itulah yang saat ini sedang dipikirkan. Sebab sebagian besar orang masih...

Eskalasi Konflik Israel Palestina dan Bantuan Kemanusiaan Negara Lain

IslamIndonesia.co – Konflik Israel Palestina masih berkepanjangan, seperti tidak ada akhirnya. Sampai saat ini serangan masih terjadi. Pada 7...

Khutbah Idul Fitri: Titik Awal Memulai Hidup Baru

IslamIndonesia.co - السلام عليكم ورحمة الله وربركاته الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله...

5 Sunnah di Hari Raya Idul Fitri

IslamIndonesia.co - Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang sangat penting bagi umat muslim di seluruh dunia.  Pada hari...