Imam Malik: Adab Dan Sikap Zuhudnya yang Nyentrik

Date:

Share post:

IslamIndonesia.co – Dalam Siyar A’lam an-Nubala’i disebutkan bahwa nama lengkap Imam Malik ialah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghaiman bin Hutsail bin Amr bin al-Harits al-Madani. Ia lahir dari rahim seorang wanita yang bernama Aliyah binti Syuraik bin Abdurrahman al-Azdiyah pada 93 H di Desa Dzi al-Marwah, setelah berada dalam kandungan selama 3 tahun. Kelahiran Imam Malik bertepatan dengan meninggalnya Anas bin Malik, khadim (pelayan) Nabi, dan pada waktu itu dunia Islam dipimpin oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.

Imam Malik berasal dari keturunan orang alim dan terkemuka sehingga pendidikannya pun sangat diperhatikan oleh keluarganya, namun keadaan ekonomi orangtuanya tidak begitu baik. Selain ayahnya merupakan seorang ulama, kakek Imam Malik dikenal sebagai salah satu pembesar di kalangan para tabi’in. Sementara buyutnya ialah Abu Amir Nafi merupakan salah satu sahabat Nabi yang selalu berjuang bersama Nabi dalam perang, selain Perang Badar. Dalam al-Imam Malik bin Anas: Imam Dar al-Hijrah, dijelaskan bahwa ayah Imam Malik terbilang keras kepada anak-anaknya ketika mereka tidak belajar dengan baik, atau menjawab sesuatu tanpa ilmu, sebagaimana diceritakan langsung oleh Imam Malik.

Dengan background keluarga yang demikian, tak heran bila pendidikan yang diperoleh Imam Malik sangat cukup dan terjamin. Berkat dorongan orang tuanya, Imam Malik sejak kecil sudah mampu menghafalkan al-Qur’an. Selain digembleng sang ayah, Imam Malik kecil juga belajar kepada ulama-ulama terkemuka yang ada di daerahnya. Semangatnya dalam belajar sangat besar, barangkali karena ia terinspirasi ayahnya yang juga sangat disiplin dalam belajar. Atau, ia termotivasi sebab semua keturunan dari kakeknya merupakan orang terhormat dan terpandang. Paman Imam Malik, Uwais, Nafi’, dan Rubayyi’ merupakan orang-orang yang diperhitungkan pada masa itu, dan juga menaruh perhatian besar pada kajian hadits.

Perjalanan hidup Imam Malik tidak begitu mulus, karena sepeninggal ayahnya ia harus berjuang membantu kebutuhan keluarganya. Ia pun meneruskan dagangan ayahnya, namun naasnya ia mengalami kebangkrutan. Kondisi yang demikian itu tetap tidak membuat Imam Malik menyerah dalam mencari ilmu. Bahkan saking susahnya waktu itu, Imam Malik sempat menjual kayu-kayu yang menjadi atap rumahnya, dan uanganya ia gunakan sebagai bekal untuk mencari ilmu. Imam Malik begitu tekun dan semangat dalam menghilangkan kebodohan dalam diri. Diceritakan bahwa penulis al-Muwattha’ ini bahkan rela menunggu gurunya keluar dari rumah dan mengikutinya ke masjid, meskipun pada saat itu cuaca sangat dingin.

Perjuangan berat Imam Malik itu pun membuahkan hasil yang amat manis. Meskipun berasal dari keluarga yang tidak mapan secara ekonomi, Imam Malik rampung dalam mengejar pendidikan, ia pun tumbuh menjadi ulama besar dalam bidang hadits dan fiqh. Bahkan dari ijtihad dan pemikirannya lahir aliran madzhab yang disandarkan kepada dirinya, yakni Madzhab Maliki atau Malikiyah (para pengikut Imam Maliki). Kehebatan dan kejeniusan Imam Malik itu pun diakui oleh Imam Syafi’i yang merupakan salah satu muridnya dan pendiri Madzhab Syafi’i, sebagaimana dalam kutipan berikut:

إِذَا ذُكِرَ الْعُلَمَاءُ فَمَالِكٌ النَّجْمُ وَمَالِكٌ حُجَّةُ اللّٰهِ عَلَى خَلْقِهِ بَعْدَ التَّابِعِيْنَ … كَانَ إِذَا شَكَّ فِي حَدِيْثٍ طَرَحَهُ كُلَّهُ…  اَلْعِلْمُ يَدُوْرُ عَلَى ثَلَاثَةٍ: مَالِكٍ، وَاللَّيْثِ، وَابْنِ عُيَيْنَةَ.

Ketika disebutkan nama-nama ulama, maka Imam Malik ibarat bintang, dan Imam Malik merupakan bukti (hujjah) Allah atas seluruh makhluk-Nya setelah era para tabi’in… (Imam Malik) ketika ragu akan suatu riwayat hadits, maka ia tidak memakainya secara keseluruhan… Ilmu pengetahuan beputar pada tiga orang, yakni Malik, al-Laits, dan Ibnu ‘Uyainah.”

Tentunya kehebatan dan kejeniusan Imam Malik tersebut tidak hanya berkah dari ketekunan dan kesungguhannya dalam mencari ilmu. Ia diketahui juga memiliki kebiasaan yang sangat luhur ketika dalam mejelis ilmu, hal ini sebagaimana diceritakan oleh Abu Mus’ab bahwa Imam Malik tidak pernah lepas dari kondisi suci (sudah thaharah) ketika menyampaikan hadits, seperti disampaikan oleh Ibnu Khalikan dalam Wafayat al-A’yan berikut:

وَكَانَ مَالِكٌ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحَدِّثَ تَوَضَّأَ وَجَلَسَ عَلَى صَدْرِ فِرَاشِهِ وَسَرَّحَ لِحْيَتَهَ وَتَمَكَّنَ فِيْ جُلُوْسِهِ بِوِقَارٍ وَهَيْبَةٍ ثُمَّ حَدَّثَ. فَقِيْلَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ: أُحِبُّ أَنْ أَعْظَمَ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَلَا أَحْدَثَ بِهِ إِلَّا مُتَمَكِّنًا عَلَى طَهَارَةٍ، وَكَانَ يُكْرِهُ أَنْ يُحَدِّثَ عَلَى الطَّرِيْقِ أَوْ قَائِمًا أَوْ مُسْتَعْجِلًا. وَيَقُوْلُ: أُحِبُّ أَنْ أَتَفَهَّمَ مَا أَحْدَثَ بِهِ عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Imam Malik ketika hendak menyampaikan hadits melakukan wudlu terlebih dahulu, kemudian ia duduk di atas tempat pembaringannya, lantas ia merapikan jenggotnya dan memantapkan posisi duduknya, dengan wibawa dan penuh khidmat, kemudia ia baru menyampaikan hadits. Ada yang bertanya mengenai kebiasaan itu, lantas Imam Malik menjawab, ‘aku senang/menyukai untuk memuliakan hadits Rasulullah Saw.’ Oleh karena itu, Imam Malik tidak pernah menyampaikan hadits kecuali ia sudah memastikan dirinya dalam keadaan suci, dan ia tidak suka juga penyampaian hadits dilakukan di jalan, sambil berdiri, atau dalam keadaan terburu-buru. Imam Malik berkata, ‘Aku senang jika bisa membuat orang paham terhadap hadits-hadits Rasulullah Saw.”

Sebuah adab luar biasa yang sangat patut kita teladani. Di samping itu, saking menjaganya adab, Imam Malik juga diketahui tidak pernah mau berkendara, baik itu menaiki unta, kuda, atau tunggangan lainnya, ketika ia berada di Madinah karena di sana terkubur jasad Rasulullah.

Selain kebiasaan-kebiasaan tersebut, Imam Malik juga diketahui sangat memperhatikan penampilannya. Ia sangat menyukai pakaian yang rapi dan berkualitas tinggi, sebagaimana ditegaskan dalam ucapannya berikut:

لَا خَيْرَ فِيْ لِبَاسِهِ (اَلصُّوْفِ الْغَلِيْظِ وَغَيْرِهِ) إِلَّا فِيْ سَفَرٍ كَمَا لَبِسَهُ النَّبِيُّ لِأَنَّهُ شُهْرَةٌ – تَظَاهَرَ بِالزُّهْدِ – وَإِنَّهُ لَقَبِيْحٌ بِالرَّجُلِ أَنْ يُعْرَفَ دِيْنُهُ بِلِبَاسِهِ… مَاأَدْرَكْتُ فُقَهَاءَ بَلَدِنَا إِلَّا وَهُمْ يَلْبِسُوْنَ الثِّيَابَ الْحَسَانَ… مَاأُحِبُّ لِأَحَدٍ أَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ إِلَّا وَيُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَيْهِ وَخَاصَةً أَهْلَ الْعِلْمِ يَنْبَغِيْ لَهُمْ أَنْ يَظْهِرُوْا مَرْوَآتِهِمْ فِيْ ثِيَابِهِمْ إِجْلَالًا لِلْعِلْمِ.

Tidak ada keibaikan dalam pakaian yang berbahan wol tebal dan sejenisnya kecuali jika dikenakan ketika dalam perjalanan (bepergian) sebagaimana pakaian yang dikenakan Nabi Saw. karena pakaian itu merupakan reputasi – yang menampakkan kezuhudan – dan sungguh jelek bagi seseorang jika agamanya dikenal melalui pakaiannya… Aku tidak menjumpai seorang pun fuqaha di negeri kami kecuali pakaian yang ia kenakan bagus… Aku tidak suka jika ada seseorang yang diberi nikmat Allah kecuali ia menampakkan bekas/bukti nikmat yang ia peroleh itu, khususnya para ulama, mereka semestinya menjaga muru’ah dan kehormatan dengan memperhatikan pakaian mereka, dengan tujuan untuk menghormati ilmu.”

Cara Imam Malik dalam berzuhud berbeda dengan ulama pada umumnya. Ia tampak suka bermewah-mewahan, tetapi hal itu semata sebagai wujud pengungkapan rasa syukurnya, bukan untuk membanggakan diri. Di sisi lain, Imam Malik ketika berbuka puasa, menunya hanya dengan roti dan minyak zaitun. Namun demikian, dalam menu keseharian, Imam Malik gemar mengonsumsi daging, dan minumannya ialah susu serta madu, disesuaikan dengan musimnya. Kenyataan itu semua tentu tak bisa dilepaskan dari prinsip yang dipegang oleh Imam Malik sebagaimana termuat dalam ungkapannya berikut:

نَقَاءُ الثَّوْبِ وَحُسْنُ الْهِمَّةِ وَإِظْهَارُ الْمُرُوْءَةِ جُزْءٌ مِنْ بِضْعٍ وَأَرْبَعِيْنَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ.

Pakaian yang bersih, tekad yang baik, dan menunjukkan maru’ah (kesopanan) adalah salah satu bagian dari 40-an tanda kenabian.”

Dengan demikian, jika mengikuti Imam Malik, seorang ahli ilmu apalagi ahli al-Qur`an pantang memakai pakaian yang lusuh, apalagi tidak harum. Kebersihan badan, keindahan pakaian, dan harumnya badan menjadi bagian dari pemuliaan kepada ilmu yang kita miliki.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related articles

Penyakit Ain itu Apa, Penyebab dan Doa Mengatasinya

IslamIndonesia.co – Penyakit Ain itu apa? mungkin itulah yang saat ini sedang dipikirkan. Sebab sebagian besar orang masih...

Eskalasi Konflik Israel Palestina dan Bantuan Kemanusiaan Negara Lain

IslamIndonesia.co – Konflik Israel Palestina masih berkepanjangan, seperti tidak ada akhirnya. Sampai saat ini serangan masih terjadi. Pada 7...

Khutbah Idul Fitri: Titik Awal Memulai Hidup Baru

IslamIndonesia.co - السلام عليكم ورحمة الله وربركاته الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله...

5 Sunnah di Hari Raya Idul Fitri

IslamIndonesia.co - Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang sangat penting bagi umat muslim di seluruh dunia.  Pada hari...