Waspada Politisasi Agama Menyambut Tahun Politik

Date:

Share post:

IslamIndonesia.co – Membahas soal relasi agama dan politik memang tidak bisa dipisahkan. Kedua entitas tersebut memiliki proses tarik menarik kepentingan. Agama memiliki peran sentral dalam membangun dan dijadikan kerangka nilai serta norma dalam struktur negara dan pendisiplinan masyarakat.

Negara membutuhkan agama sebagai legitimasi dogmatik untuk mengikat warga negaranya agar dapat mematuhi aturan-aturan yang ada. Hubungan timbal balik inilah yang memunculkan hubungan saling mendominasi antar kedua entitas tersebut.

Biasanya negara yang didominasi unsur kekuatan agama yang terlalu kuat, akan melahirkan negara teokrasi yang memiliki kecenderungan melahirkan hipokrisi moral maupun etika yang ditunjukkan para pemuka agama. Kondisi ini sering terjadi disebabkan adanya pencampuradukan unsur teologis dan materialis secara konservatif.

Sebaliknya, biasanya jika negara yang mendominasi relasi agama, akan menciptakan negara sekuler yaitu mengesampingkan urusan agama dan tereduksikan dalam pengaruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sangat penting untuk menyeimbangkan keduanya agar tidak saling mendominasi.

Isu Politisasi Agama dan Sara sebenarnya sudah pernah dirasakan begitu kuat semenjak pilkada Jakarta beberapa tahun lalu. Masih ada kemungkinan akan digunakan juga pada konstestasi politik menjelang Pemilihan Legislatif dan Presiden tahun 2024 yang sejatinya masih dua tahun lagi. Namun sudah bisa dirasakan hegemoninya saat memasuki tahun 2022 ini.

Agama sudah seharusnya menjadi penguat hubungan antarmanusia, meski dalam konteks perbedaan iman. Namun realitasnya, ada segelintir aktor politik dan agama yang mempertentangkan dan mendegradasikan peran suci agama untuk tujuan politik. Hal ini jelas mengaburkan makna politik yang awalnya adalah positif, yaitu untuk menghadirkan kebajikan publik yang masih perlu diterangi oleh nilai agama.

Berbicara soal agama, tentu akan diingatkan oleh ungkapan Gus Dur, “Agama mengajarkan pesan-pesan damai. Namun para ekstremis akan memutar balikkannya. Kita butuh agama yang ramah, bukan agama yang marah.”

Politisasi agama merupakan realitas yang sangat memprihatinkan. Namun sayangnya masih menjadi primadona karena masih dianggap sebagai cara yang relatif praktis, murah untuk merebut emosi dan simpati masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang minim literasi politik dan minim rasionalitas.

Meski tidak melulu demikian, bahkan bisa jadi yang rasionalitasnya baik sekali pun, jika terus dijejali dengan isu agama, maka sisi rasionalitasnya akan tergantikan dengan emosi yang menghilangkan etika. Hal inilah yang dilihat para tokoh politik yang mempolitisasi agama.

Ia melihat peluang yang bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk memenangkan konstestasi politik. Di antaranya memanfaatkan simbol agama dan dukungan tokoh-tokoh agama yang menjajakan ayat dan fatwa agama untuk kepentingan politik, agar kandidatnya bisa terpilih.

Jika hari ini banyak tokoh politik yang membranding diri untuk mencitrakan dirinya sebagai penganut agama yang taat, meski setelah merebut kekuasaan yang diidamkannya, ia bisa saja kembali ke karakter aslinya.

Lebih parahnya lagi, jika politisasi agama masih dirasa belum cukup, lalu ditambah dengan memanfaatkan sentimen SARA untuk mendegradasikan lawan politik masih dianggap efektif.

Mereka tidak segan-segan memberikan framing dan label negatif yang awalnya dicelotehkan di sosial media dengan narasi yang provokatif dan ujaran kebencian, lalu kian membesar. Padahal jelas, hal ini bertentangan dengan esensi agama yang mengajarkan cinta kasih, kerja sama dan penghormatan sesama umat manusia, meski berbeda suku, ras dan agama.

Regulasi soal SARA sudah diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bunyi pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba.

Namun realitasnya, masih ada saja di medsos maupun di dalam kehidupan nyata menemui ungkapan narasi provokatif. Jangan sampai terulang lagi penegakan hukum pada pelaku politisasi agama disebut sebagai “kriminalisasi” tokoh agama.

Buya Syafii Maarif memaknai politisasi agama sebagai “Penggunaan agama untuk tujuan politik tanpa moral, etika, dan akal sehat”.

Jika dibiarkan, bukan hal yang mustahil, apa yang menimpa Suriah, Libya, Irak dan Afganistan yaitu konflik suku dan agama dalam balutan politik, menjadi konflik yang tidak berkesudahan terjadi di Indonesia.

Baik itu pengusung Islamophobia maupun phobia terhadap agama lain yang dibalut dalam bentuk narasi provokatif dan destruktif inilah yang layak disebut sebagai aktor politisasi agama. Orang-orang tersebut sering memanfaatkan simbol dan praktik ritual agama yang di-framing untuk mendegradasikan kandidat calon pemimpin atau kelompok yang berseberangan dengan dirinya.

Ketika budaya demokrasi sudah terbangun dengan baik, mungkin konflik dan kekerasan yang terkait agama bisa dicegah. Menjunjung tinggi nilai demokrasi dengan mengakui perbedaan dan keragaman sebagai realitas yang harus diterima dan dirayakan. Jika disadari keragaman inilah yang mampu menghasilkan inovasi dan kreativitas bagi kemajuan bangsa.

Jika masing-masing pemeluk agama memiliki kesadaran tentang toleransi beragama yang pada hakikatnya sudah sejak dahulu telah dipraktikkan bahkan diapresiasi dunia internasional tentu hal itu tidak akan terulang.

Pelibatan agama dalam politik sebaiknya dijadikan untuk mengawal proses demokrasi agar praktik politik sesuai dengan etika nilai luhur agama, membangun identitas dan solidaritas sosial atas dasar universalitas nilai agama.

Perlu diingat bahwa Pancasila, sangat menghormati kedudukan agama. Agama memang sering dilibatkan dalam legitimasi politik untuk menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan. Namun, harus diekspresikan dengan santun sehingga tidak menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA.

Survei Opini Publik: antara Agamis dan Nasionalis

Jika melihat hasil survei opini publik dari lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) telah menyebutkan, bahwa pemilih lebih cenderung memilih parpol nasionalis ketimbang berhaluan agama. Secara umum, masyarakat berorientasi politik kebangsaan.

Survei ini telah digelar pada 13 – 20 Maret 2022 kepada 1.220 responden yang dipilih secara acak dengan metode stratified multistage random sampling terhadap keseluruhan populasi atau warga negara Indonesia yang sudah memiliki hak pilih, yakni mereka yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dengan tingkat kesalahan kurang lebih 3,12 persen.

Hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia cukup religius. Sebesar 62 persen responden mengaku selalu atau sering melakukan ibadah di rumah ibadah, sedangkan 31 persen responden mengaku jarang, dan 5 persen lainnya sangat jarang atau tidak pernah. Artinya dua per tiganya cukup religious.

Masyarakat memang mempertimbangkan agama dalam membuat keputusan penting dalam hidup cukup besar. Tercermin dari 84 persen responden yang menyatakan selalu atau cukup sering mempertimbangkan agama dalam membuat keputusan penting. Sedangkan yang menyatakan jarang atau tidak hanya 13 persen.

Hal tersebut tidak selalu berhubungan dengan pilihan politik. Religiusitas masyarakat memang memiliki pengaruh dalam perilaku politik namun terbatas. Dalam hal orientasi partai politik, masyarakat Indonesia cenderung ke nasionalis sehingga tidak heran jika partai-partai nasionalis mendapatkan suara terbesar dalam setiap pemilu.

Meski Agama Jadi Pertimbangan, Partai Islam Tak Jadi Pilihan

Hasil survei di atas diamini oleh Peneliti senior LIPI Siti Zuhro, yaitu soal orientasi politik masyarakat Indonesia yang cenderung moderat yang akhirnya memenangkan partai nasionalis. Partai-partai Islam di parlemen masih perlu melakukan inovasi-inovasi terbaru untuk dapat mempertahankan kursinya di DPR.

Selain itu, yang paling penting adalah integritas para politikus muslim yang harus dijaga jika tidak ingin mengalami penurunan suara. Misalnya dengan tidak tersandung kasus korupsi dan tidak ada friksi yang besar di tubuh partai.

Agama memang menjadi salah satu faktor penting dalam pemilihan kandidat pemimpin, namun tidak untuk pemilihan partai. Artinya jika bicara soal ketokohan, agama masih bisa dipolitisasi oleh sejumlah tokoh politik. Namun belum tentu bisa dijadikan sebagai alat untuk mengarahkan seseorang agar memilih partai tertentu.

Yang perlu digarisbawahi adalah mewaspadai politisasi agama oleh tokoh politik. Dari apapun partainya baik itu nasionalis maupun agamis, tokoh politiknya masih memiliki kemungkinan untuk menggunakan isu tersebut dalam merebut suara rakyat.

Achmad Fachrur Rozi
Achmad Fachrur Rozihttp://www.islamindonesia.co
Silakan kirim kritik & saran Anda melalui email: [email protected]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related articles

Penyakit Ain itu Apa, Penyebab dan Doa Mengatasinya

IslamIndonesia.co – Penyakit Ain itu apa? mungkin itulah yang saat ini sedang dipikirkan. Sebab sebagian besar orang masih...

Eskalasi Konflik Israel Palestina dan Bantuan Kemanusiaan Negara Lain

IslamIndonesia.co – Konflik Israel Palestina masih berkepanjangan, seperti tidak ada akhirnya. Sampai saat ini serangan masih terjadi. Pada 7...

Khutbah Idul Fitri: Titik Awal Memulai Hidup Baru

IslamIndonesia.co - السلام عليكم ورحمة الله وربركاته الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله...

5 Sunnah di Hari Raya Idul Fitri

IslamIndonesia.co - Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang sangat penting bagi umat muslim di seluruh dunia.  Pada hari...