IslamIndonesia.co – Pembahasan mengenai nasionalisme selalu identik dengan dua hal, yakni (1) bangsa atau kumpulan masyarakat, dan (2) suatu daerah atau wilayah tertentu yang sering disebut sebagai negara. Meskipun paham ini merupakan anak kandung dari disiplin ilmu politik, namun dalam perkembangannya, paham ini pun banyak bergaul dengan beragam disiplin keilmuan lainnya, termasuk dengan keilmuan Islam.
Persoalannya kemudian adalah, paham nasionalisme baru lahir di Barat sekitar abad ke-18 Masehi, sementara umat muslim sudah mengenal nilai-nilai agama yang menjadikan mereka merasa senasib-sepenanggungan, bahkan paham ini telah diisyaratkan dalam Piagam Madinah.
Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu kiranya diketahui bagaimana al-Qur`an membincangkan nasionalisme, meskipun sebenarnya tidak ada ayat yang secara tegas menyebut nasionalisme sebagai suatu paham yang mesti ditegakkan.
Berbanding dengan paham nasionalisme yang identik dengan bangsa-negara, maka term dalam al-Qur`an yang dikuliti guna diperoleh narasi nasionalisme versi al-Qur`an ialah ummah dan balad. Term pertama dipilih karena term tersebut memiliki jangkauan makna yang lebih kaya, dibandingkan dengan qaum, ṭaif, qabīlah, asbāṭ, hizb, dan sebagainya.
Selain itu, kata tersebut juga mengandung makna yang berkaitan dengan community, religion, religious community, imam, bahkan waktu tertentu. Term ini juga disejajarkan oleh Ali Syariati dengan nation, race, mass, people, mujtama’, jama’ah, dan thabaqah.
Adapun kata balad dipilih karena secara makna literal dapat mewakili konsep terkait negara. Bahkan, term tersebut dijadikan salah satu sumpah Allah dalam beberapa ayat, selain juga ada ayat yang memuat term tersebut berisikan doa Nabi Ibrāhīm atas negara yang ia tinggali.
Dalam al-Qur`an, term ummah dijumpai di 64 tempat dan tersebar dalam 24 surah. Nur Kholis Setiawan mengatakan bahwa dari 64 tempat tersebut, 12 kata ummah merupakan bagian dari ayat madaniyah, sementara mayoritas sisanya merupakan ayat makkiyah.
Kata ummah ini memuat makna yang sangat kaya. Menurut Ibn Fāris al-Qazwīnī, kata yang berasal dari amma ini memiliki empat cakupan makna utama yang memiliki kedekatan, yakni al-aṣl, al-marji’, al-jamā’ah, dan ad-dīn.
Adapun menurut Ibnu Manẓūr, dalam Lisān al-‘Arab, ummah memiliki banyak kandungan makna, meliputi generasi manusia, kelompok yang hidup pada masa tiap nabi baik kafir maupun mukmin, sekelompok bangsa, setiap masing-masing jenis hewan, bahkan makna kata tersebut juga digunakan untuk menyebut kelompok segala eksistensi. Ibnu Manẓūr juga menjelaskan bahwa kata tersebut juga mengandung makna yang berkaitan dengan waktu tertentu dan kesetiaan (at-ṭā’ah).
Di samping itu, ummah menurut Ibn Fāris al-Qazwīnī juga memuat makna yang identik dengan agama atau kelompok agama, juga bermakna imam seperti dalam an-Naḥl [16]: 120, karena imam menjadi sebab orang-orang berhimpun/berkelompok. Bahkan, untuk menunjukkan betapa kata tersebut memiliki cakupan makna yang luas, penulis Lisān al-‘Arab ini mengutip sebuah pasal dalam Piagam Madinah, Inna Yahūda Bani ‘Auf ummah min al-mu’minīn. Bahwa kata ummah dalam riwayat itu mengisyaratkan persatuan yang terdiri dari berbagai kelompok yang tidak homogen.
Sementara itu, dalam Al-Mu’jam al-Wasiṭ, ummah dimaknai sebagai ibu dan kelompok manusia yang mayoritas dari mereka berasal dari satu asal yang sama. Kelompok ini diyakini disatukan oleh kesamaan-kesamaan yang turun-temurun dari nenek moyang, dengan cita-cita atau kepentingan yang sama, atau disatukan sebab kesamaan agama, tempat, atau zaman tertentu. Oleh karena itu, muncul istilah al-ummah al-mishriyah (bangsa Mesir) atau al-ummah al-‘iraqiyah (bangsa Irak), dan sebagainya.
Dalam Piagam Madinah, ummah dugunakan untuk menyebut komunitas yang plural, mencakup berbagai agama yang ada pada masa itu, suku, juga ras, yang tergabung dalam satu kesatuan politik, seperti dalam pembukaan Piagam Madinah yang berbunyi, Innahum ummah wāhidah min dūn an-nās (Sesungguhnya mereka adalah satu umat, yang terbebas dari manusia lainnya), juga dalam salah satu pasal yang artinya, “Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf merupakan satu umat dengan orang-orang mukmin.
Bagi kaum Yahudi agama mereka, sementara bagi kaum mukmin agama mereka, begitu juga sekutu-sekutu mereka dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang zalim dan jahat. Karena sesungguhnya yang demikian itu akan merusak diri sendiri dan keluarganya.” Dengan demikian, jelas bahwa ummah secara semantik memiliki makna yang beragam.
Meskipun beberapa makna sangat spesifik, tetapi term tersebut juga mengandung makna yang universal, digunakan untuk menunjuk komunitas yang tersusun dari beragam elemen. Makna universal inilah yang bisa disejajarkan dengan pengertian bangsa.
Dalam al-Qur`an, setidaknya ada 13 model dari term ummah (enam model makkiyah dan tujuh model madaniyah). Pada ayat-ayat makkiyah, ummah lebih banyak dalam bentuk umum, tidak seperti dalam ayat-ayat madaniyah yang kebanyakan digandeng dengan beberapa keterangan sehingga maknanya pun lebih spesifik.
Pada ayat-ayat madaniyah, ada sekitar tujuh ayat yang memuat term ummah dengan tambahan keterangan, seperti muslimah, wasaṭā, wāḥidah, khair, qāimah, dan muqtaṣid. Sedangkan pada ayat-ayat makkiyah term ummah lebih banyak digunakan dalam bentuk nakirah, dan beberapa makrifat tetapi tidak seperti dalam ayat-ayat madaniyah.
Berdasarkan kenyataan tersebut, penting disadari bahwa term ummah sebagaimana dimuat dalam al-Qur’an, mengalami pergeseran penggunaan: dari yang periode makkiyah lebih universal, menjadi lebih spesifik ketik dalam ayat-ayat yang tergolong periode madaniyah.
Yuni Marufah menemukan bahwa term ummah yang terdapat dalam ayat-ayat makkiyah sebagian besar mengandung semangat persatuan, atau banyak mengacu pada ide kesatuan dan mengakomodasi berbagai kelompok primordial masyarakat.
Adapun dalam ayat-ayat madaniyah, meskipun banyak mufasir yang lebih memilih makna spesifik, tetapi ada beberapa mufasir yang tidak melakukan penyempitan makna. Misalnya, terkait term ummah dalam Yūnus [10]: 19 yang digandeng dengan kata wāḥidah, tidak melulu dimaknai oleh para mufasir secara spesifik sebagai umat Islam.
Beberapa mufasir seperti Ibrahīm bin ‘Umar al-Biqā’ī dan as-Suyūṭī memilih makna yang lebih umum, dan tidak membatasi pada “Islam”. Pemilihan makna yang umum ini juga disampaikan oleh Ibn ‘Āsyūr ketika menafsirkan term ummah dalam az-Zukhrūf [43]: 22 dengan al-millah wa ad-dīn (kepercayaan dan agama), sebagaimana juga diakomodasi oleh al-Bagawī dalam tulisannya.
Di samping itu, meskipun banyak mufasir yang memaknai secara spesifik term ummah wāḥidah pada al-Baqarah [2]: 213, namun Muḥammad Ṣadīq Khān berpendapat bahwa pada ayat tersebut tidak ada petunjuk mengenai apakah orang-orang yang disebut dalam ayat adalah beriman atau tidak.
Penyempitan makna itu muncul karena aspek di luar ayat. Menurutnya, ayat tersebut memberikan isyarat bahwa manusia pada dasarnya adalah ummah wāḥidah, dengan segala jenis dan kecakapan masing-masing
Sementara itu, kata balad dan perubahannya menurut ‘Alami Zadah al-Maqdisi dalam Fath ar-Rahmān li Ṭālib Ayat al-Qur`ān disebutkan sebanyak 19 kali di dalam al-Qur’an, yakni pada surah [2]: 126, [3]: 196, [7]: 57 dan 58, [14]: 35, [16]: 7, [25]: 49, [27]: 91, [34]: 15, [35]: 9, [40]: 4, [43]: 11, [50]: 11 dan 36, [89]: 8 dan 11, [90]:1–2, serta surah [95]: 3.
Dari 19 ayat tersebut, diketahui hanya ada dua ayat yang merupakan kategori ayat madaniyah (al-Baqarah [2]: 126 dan Āli ‘Imrān [3]: 196), sementara 17 ayat lainnya merupakan ayat-ayat makkiyah. balad digunakan dalam lima model, yakni balad, al-balad, al-bilād, baldah, dan al-baldah. Ada dua model yang penggunaannya dalam bentuk nakirah-makrifat, dan satu model yang penggunaannya hanya dalam bentuk makrifat.
Menurut Abdul Mustaqim, balad juga ia terjemahkan sebagai tanah air. Ia menambahkan bahwa dari term baldah terdapat isyarat untuk berani pasang dada membela negara. Ia berpendapat bahwa al-balad dan al-baldah dalam al-Qur’an mengisyaratkan pesan terkait cinta tanah air yang meniscayakan penduduknya untuk membela dan mempertahankan hak-haknya.
Dalam tulisannya, as-Sya’rāwī menjelaskan bahwa doa Nabi Ibrāhīm dalam al-Baqarah [2]: 126, Ij’al hādzā baladan āminan, diulang dalam ayat lain, tetapi term balad digunakan dalam bentuk makrifat, al-balad. Dengan demikian, ada doa Nabi Ibrāhīm dalam al-Qur’an yang memuat term balad dalam bentuk nakirah dan ada yang bentuk makrifat.
Menurutnya, ayat tersebut mengandung dua makna, yakni permintaan Nabi Ibrāhīm untuk menjadikan wilayah yang ia tempati sebagai negara, dan agar wilayah itu dijadikan sebagai negara yang aman. ‘Abdul Karīm Yūnus al-Khaṭīb menambahkan bahwa perbedaan penggunaan term balad dalam doa Nabi Ibrāhīm sebagaimana terekam dalam al-Qur’an meniscayakan dua hal.
Pertama, kedua term itu memuat makna yang berbeda. Kedua, Nabi Ibrāhīm menggunakan term balad (nakirah) ialah ketika meninggalkan istrinya dan Ismail untuk kembali ke Tanah Haram dan lokasi ditinggalkannya dua orang terkasihnya itu merupakan wilayah yang masih belum berpenghuni, oleh karena itu ia menggunakan bentuk nakirah (balad) dalam doanya, sementara itu ketika ia kembali lagi ke wilayah di tersebut dan wilayah itu sudah berpenghuni, ia menggunakan bentuk makrifat (al-balad) dalam doanya.
Berdasarkan keterangan tersebut, jelas bahwa balad dan al-balad meskipun secara makna sama, tetapi setelah dilacak maknanya dengan memperhatikan konteks ayat serta kaidah bahasa, dapat diketahui sisi perbedaannya. Selain itu, kita juga tahu bahwa al-Qur’an merekam wujud kecintaan nabi kepada wilayah yang ia tempati, dan dalam doa itu digunakan term balad serta al-balad, term yang identik untuk menyebut negara atau tanah air.
Selain itu, Ibnu ‘Āsyūr menjelaskan bahwa dalam Āli ‘Imrān [3]: 196, term yang digunakan ialah dalam bentuk makrifat berupa al-bilad, yakni bentuk jamak dari al-balad. Term tersebut memberikan kesan makna yang umum, tetapi terbatas. Yakni berkaitan dengan negara-negara yang dikunjungi bolak-balik oleh kaum kafir Makkah.
Mengenai hal ini, Ibnu ‘Āsyūr menjelaskan bahwa makna al-bilad pada ayat itu adalah al-arḍ. Berdasarkan penelusuran tersebut, kita tahu bahwa al-Qur’an mengakomodasi konsep tentang negara, dengan wilayah masing-masing dan batas-batas tertentunya. Al-Bilad yang merupakan jamak dari al-balad meniscayakan makna yang berkaitan dengan banyaknya negara, dan dalam ayat tersebut ditegaskan melalui perjalanan kaum kafir Makkah ke berbagai negara.
Dengan demikian, diperoleh gambaran bagaimana al-Qur’an melihat konsep bangsa-negara, yang bisa dijadikan penanda pentingnya nasionalisme dalam kehidupan. Bahwa cinta kepada tanah air adalah salah satu bagian dari ajaran al-Qur`an, bahkan ditegaskan melalui doa para nabi yang memohon keselamatan dan ketenteraman atas wilayah/negara yang mereka tempati. Jika merujuk pada tulisan Cakti Indra Gunawan, nasionalisme model ini dapat disebut pula sebagai nasionalisme positif, bukan rasa cinta tanah air yang berlebihan dan sangat tinggi, sehingga memandang negara lain adalah rendah.
Leave a Comment