Imam Ahmad bin Hanbal: Hidup Bersama Tinta Sampai Tutup Usia

Kemas Muhammad Intizham

0 Comment

Link

IslamIndonesia.co – Imam Ahmad memiliki nama lengkap Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani. Nama Imam Ahmad bin Hanbal yang dinisbatkan kepada kakeknya. Ia merupakan Imam Mazhab keempat setelah Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam asy-Syafi’i. Ia digelari oleh orang-orang di zamannya sebagai Imam ad-Dunya, Imam Dar as-Salam, Mufti al-Iraq, Alim as-Sunnah, Zahid al-Waqt, Muhdis ad-Dunya, dan masih banyak lagi.

Imam Ahmad lahir pada bulan Rabiul Awwal tahun 164 Hijriah di Ibu Kota Baghdad. Ia hidup pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah. Ia adalah seorang yatim sejak usia belia. Ayahnya wafat pada saat ia masih sangat kecil, bahkan ia sendiri tidak ingat wajah ayahnya. Ia dididik oleh ibunya, Sofiah binti Maimunah. Ia bersama ibunya hidup dalam kemiskinan. Mendiang ayahnya tidak meninggalkan apa-apa, kecuali rumah yang kecil.

Ia telah menghafal seluruh al-Qur’an pada saat usianya masih muda. Ia tumbuh menjadi seseorang yang sangat mencintai ilmu dan belajar. Sampai-sampai ibunya merasa ibu melihat putra yang ia sayang nampak begitu lelah dalam belajar. Ia kerap keluar rumah untuk menuntut ilmu sebelum terbit fajar, sehingga ibunya harus menyembunyikan pakaiannya agar ia keluar pada saat orang-orang berangkat salat Shubuh.

Imam Ahmad benar-benar telah mendedikasikan dirinya untuk belajar sepanjang hidupnya, terlebih dalam bidang hadis. Ia telah mencapai derajat puncak dalam ilmu hadis, yakni seorang yang bergelar Imam. Karena itu pula orang-orang terheran-terheran sampai bertanya kepada Imam Ahmad, “Wahai Imam, sampai kapan engkau akan terus belajar? Sedangkan engkau telah menjadi imamnya kaum muslimin?”

Imam Ahmad lalu menjawab “ مع المحبرة حتى المقبرة, Bersama Tinta Sampai Tutup Usia.”

Ucapan Imam Ahmad bukan hanya sebuah omong. Ia selalu membawa pena, tinda, dan kertas ke mana saja. Ia digelari oleh orang di sekitarnya dengan sebutan Ashhabul  Mahabir (Sahabat Tinta). Salah satu yang unik adalah kebiasaannya yang selalu mencatat apa yang ia dengar. Ia tidak begitu mengandalkan ingatan dan hafalannya. Baginya, tulisan dan buku punya daya hafal dan ingat lebih kuat dari kepala.

Imam Ahmad baru memulai mengajar di majelis Masjid Agung kota Baghdad pada saat usianya menginjak telah 40 tahun. Sebelum itu, ia hanya menggunakan waktunya untuk belajar. Ia juga merasa malu jika harus mengajar, sementara guru-gurunya masih hidup dan memimpin majelis-majelis ilmu. 

Selama hidupnya, ia memiliki dua mejelis; majelis umum dan majelis khusus. Majelis umum diadakan setiap setelah salat ashar di Masjid yang dihadiri sekitar lima ribu orang jamaah. Sedangkan majelis khusus diadakan di rumahnya dengan jumlah jamaah terbatas. Motivasi orang-orang yang datang kepadanya beragam. Ada yang menuntut ilmu, mendengar nasehat, mencontoh akhlaq dan adabnya, dan mengambil keberkahan dari Sang Imam. 

Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, ia dipenjara karena menolak paham bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Tanpa sedikit pun keraguan dalam hatinya, ia tak pernah goyah untuk menyakatan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Pada saat dipenjara, ia hanya meminta kepada pengikutnya untuk membawakan kertas dan tinta saja. Kertas dan tinta jauh lebih penting dari makanan dan bekal atau apapun bagi seorang Imam Ahmad bin Hanbal. 

Selama di dalam penjara, ia selalu berpuasa pada siang hari. Di malam hari ia selalu salat dalam jumlah yang banyak. Ia tidak tidur, kecuali hanya sedikit. Waktu luangnya ia gunakan untuk menulis. Ia menyelesaikan karya besarnya, kitab al-Musnad di dalam penjara. Sebuah kitab fenomenal yang berisi sekitar 40.000 hadis

Imam Ahmad mengalami penyiksaan yang cukup brutal pada masa al-Mu’tashim. Ia dicambuk berkali-kali sampai punggungnya penuh bekas luka yang bercucur darah agar ia mau menyakatan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Penyiksaan itu hanya sia-sia, Imam Ahmad tidak sedikit pun goyah atas keyakinannya. 

Dalam keadaan tubuhnya yang memprihatinkan, Imam Ahmad dipulangkan ke rumah. Ia tinggal di rumah beberapa saat sampai kembali pulih. Di waktu yang begitu singkat itu, dengan keadaan tubuh yang luka-luka dan kesakitan, Imam Ahmad masih mengajar orang-orang di rumahnya.

Selama kurang lebih 14 tahun di dalam penjara maupun pengawasan khalifah, ia dibebaskan secara penuh pada masa khalifah al-Mutawakkil. Untuk menebus dosa para khalifah sebelumnya, al-Mutawakkil memberinya harta yang cukup banyak. Namun ia menolaknya. Hingga kemudian khalifah memaksanya untuk menerimanya. Secara terpaksa ia menerima pemberian tersebut, tapi kemudian ia sedekahkan seluruhnya.

Imam Ahmad jatuh sakit karena usia yang telah menua. Ia hanya menyibukkan dirinya dengan salat dan beribadah kepada Allah. Ia tak pernah sekalipun meninggalkan salat dalam keadaan apapun. 

Pada waktu dhuha di hari Jum’at 12 Rabiul Awwal tahun 241 H, beberapa saat setelah berwudhu yang dibantu putra-putranya, Imam Ahmad menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya disalatkan setelah salat Jum’at dengan dihadiri puluhan ribu manusia. Ia dimakamkan di kota Baghdad. 

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment