Polemik Logo Halal

Achmad Fachrur Rozi

0 Comment

Link

IslamIndonesia.co – Logo halal baru Kementerian Agama menuai polemik. Di era informasi sekarang ini, siapapun bisa mengakses segala hal di internet. Menahan diri untuk tidak ikut mengomentari hal-hal yang bukan keahliannya menjadi jauh lebih sulit sekarang ini. Sebab siapapun bisa mengakses informasi sekaligus mengutarakan isi kepalanya di medsos.

Saking serunya memperdebatkan hal kecil, kita seringkali justru malah lupa pada substansi. Perlu diketahui bahwa tujuan utama pemberian sertifikasi label halal adalah untuk memberikan kepastian kehalalan produk sehingga menentramkan batin yang mengonsumsinya.

Beberapa waktu yang lalu, Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah menetapkan label halal baru yang berlaku secara nasional. Label Halal Indonesia secara filosofi mengadaptasi nilai-nilai ke-Indonesiaan. Bentuk dan corak yang digunakan merupakan artefak-artefak budaya yang memiliki ciri khas yang unik berkarakter kuat dan merepresentasikan Halal Indonesia.

Filosofi Logo Halal Baru

Label Halal Indonesia yang baru ini mengadopsi bentuk Gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas. Memiliki makna filosofis yaitu melambangkan kehidupan manusia. Gunungan itu terbentuk atas kaligrafi huruf arab yang terdiri atas huruf Ha, Lam Alif, dan Lam dalam satu rangkaian membentuk kata halal. Huruf Arab ini disusun dengan gaya khat kufi.

Bentuk tersebut menggambarkan bahwa semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, maka manusia harus semakin mengerucut (golong gilig) manunggaling Jiwa, Rasa, Cipta, Karsa, dan Karya dalam kehidupan, atau semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Penggunaan warna ungu pada Label Halal Indonesia sebagai warna utama label dan hijau toska sebagai warna sekundernya. Warna ungu merepresentasikan makna keimanan, kesatuan lahir batin, dan daya imajinasi. Sedangkan warna sekundernya adalah Hijau Toska, yang mewakili makna kebijaksanaan, stabilitas, dan ketenangan. Namun jika kita berimajinasi lebih jauh, warna ungu adalah gabungan dari dua warna utama yang digunakan dua ormas terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah.

Kritikan Logo Baru

Sejak label atau logo halal ini diluncurkan, banyak sekali hal yang dipermasalahkan. Pertama, logo halal berbentuk gunungan tersebut dianggap Jawa sentris, tidak menggambarkan Indonesia secara keseluruhan. Namun jika kita boleh jujur, memang tidak ada bentuk lain yang kekuatan identifikasinya lebih kuat dari gunungan. Orang yang melihatnya pun akan tahu bahwa itu berasal dari Indonesia. Jika bukan gunungan, lalu apa? Monas?

Alternatif Logo Halal Khas Indonesia Berbentuk Monas

Lalu yang menjadi bahan kritikan lainnya yaitu penggunaan khat kufi yang dianggap terlalu rumit dan tidak dapat dibaca. Nampaknya, anggapan ini keterlaluan, dan terlalu mendiskresditkan kaum muslim Indonesia. Asalkan ia sudah mahir membaca Iqra’ jilid 4 saja, ia bisa mengenali bahwa tulisan pada logo di atas dapat dibaca halal. Terlebih lagi di bawah gambar gunungan terdapat tulisan “Halal Indonesia”. Apa masih kurang terbaca?

Justru jika kita lihat logo lama, susunan huruf arab pada tulisan Majelis Ulama Indonesia jauh lebih rumit. Namun tertolong dengan tulisan Majelis Ulama Indonesia yang melingkar di pinggirannya. Tetapi kenyataannya masyarakat tahu, bahwa itu logo halal. Sebab pada dasarnya, logo itu memiliki fungsi  sebagai identifikasi yang menunjukkan kekhasan.

Kemudian jika yang dipermasalahkan adalah hilangnya tulisan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga hilangnya otoritas MUI sebagai pemberi sertifikasi label halal, maka wajar adanya penolakan. Sebab akan berdampak pada pendapatan MUI sendiri. Toh, pendapatan MUI dari sertifikasi halal dari dulu tidak pernah dibocorkan ke publik. Padahal jika ditaksir, jumlahnya jelas fantastis. Masyarakat tidak tahu, pendapatan fantastis tersebut lari kemana? karena memang MUI tidak pernah transparan soal ini.

Menaksir Pendapatan MUI dari Sertifikasi Label Halal

Dalam situs www.halalmui.org, disebutkan selama 2010 hingga 2015 (enam tahun), MUI sudah menerbitkan 35.962 sertifikat halal. Produk yang berhasil disertifikasi itu mencapai mencapai 309.115, sedangkan perusahaan yang mendaftarkannya berjumlah 33.905. Dari angka itu, pendapatan MUI bisa diestimasi jika biaya pengurusan sertifikat halal diketahui.

Dari situs MUI Kepulauan Riau www.halalmuikepri.com, didapat data pengurusan sertifikat halal berkisar pada Rp2 juta sampai 3,5 juta untuk usaha menengah. Untuk usaha besar, biayanya ada pada rentang Rp3,5 sampai 4,5 juta.

Dalam situs itu pula, ada keterangan bahwa bagi usaha kecil yang tidak mampu dimungkinkan untuk mendapat subsidi biaya. Bagi usaha kecil pada umumnya, akan dikenakan biaya pengurusan sertifikasi sebesar Rp500 ribu sampai 2 juta. Belum termasuk nominal yang harus dibayarkan pemohon saat mengisi formulir pendaftaran yaitu sebesar Rp 200.000.

Jika dihitung, dari jumlah sertifikat yang diterbitkan, sebanyak 35.962, dikali biaya minimal Rp2,5 juta saja, didapat hasil kasar Rp89,90miliar. Jika rupiah itu dibagi enam, maka akan didapat kisaran pendapatan kotor MUI per tahun, yakni Rp14,98 miliar. Tentu angka kisaran kotor itu belum dikurangi biaya operasional seperti gaji tenaga kerja, kerja-kerja laboratorium, administrasi, dll.

Sertifikat halal MUI tersebut hanya berlaku selama 2 tahun. Artinya, dalam 33 tahun menjalani peran sebagai lembaga penjamin kehalalan produk, pendapatan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI tidak hanya tergantung pada merek baru yang mengurus sertifikat halal. Merek lama pun tiap dua tahun sekali harus menyetor dana supaya bisa disertifikasi halal lagi oleh MUI.

Kini MUI telah kehilangan otoritasnya dalam menangani sertifikasi label halal. Sesuai Undang-undang, yang memiliki kewenangan penerbitan sertifikasi halal bakal diambil alih oleh Kemenag dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH, dari sebelumnya yang sebelumnya dipegang oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Dengan keputusan ini, jelas banyak yang terusik. Apalagi yang mengeluarkan keputusan adalah Menteri Agama saat ini, yaitu Yaqut Cholil Qoumas. Sejak menjabat sebagai Ketum GP Ansor memang sudah banyak yang tidak suka dan mencari-cari kesalahannya. Apalagi saat sudah menjabat Menteri Agama, arusnya jelas lebih kuat.

Jadi keputusan apapun yang dikeluarkan nantinya akan selalu muncul kontra. Bukan karena peraturan yang disahkannya, melainkan subjektifitas atas ketidak sukaan sebagian kelompok kepadanya. Wallahu A’lam.

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment