Islam [khas] Nusantara Sebagai Representasi Poros Tengah Sekaligus Kiblat Ketiga Islam Dunia

Date:

Share post:

IslamIndonesia.coSesuai dengan namanya, Nusantara. Sebuah negeri dengan gugusan beberapa nusa yang dirangkai, dijalin, dihubungkan dan dipersatukan oleh perairan. Mungkin dari kenyataan [teritorial] inilah semboyan luhur negeri ini lahir: Bhineka Tunggal Ika.

Gugusan nusa sebagai simbol ke-Bhineka-annya dan perairan sebagai simbol ke-Tunggal Ika-annya. Sebab, di pulau-pulau tersebutlah heterogenitas, diversitas dan pluralitas ras, suku, bahasa, adat, agama, dan lain sebagainya tumbuh subur.

Maka sudah barang tentu jika karakter “dialog-dialektis” yang moderat, luwes, dinamis nan terbuka menjadi ciri khas sekaligus ruh dari Nusantara.

Jika diperhatikan, di dalam kata “Nusantara” terkandung satu konsep penting yang secara verbal menegaskan tentang jiwa atau ruh dari Nusantara itu sendiri, yakni konsep “Antara” (Nus[a]antara). Sebuah konsep yang meniscayakan dialog, perjumpaan, interaksi, dan semacamnya.

Dalam perspektif filsafat ilmu, ruang “Antara” ini bisa disebut juga dengan zona “intersubjektif”: sebuah zona interaksi, hubungan, kontak, atau perjumpaan antar “subjek-subjek” yang heterogen nan plural [ras, suku, agama, budaya, adat, bahasa, dll.].

Ingat, pola interaksinya itu berbentuk “subjek-subjek” lho, bukan subjek-objek! Geraknya pun “aktif-aktif”, bukan aktif-pasif!

Selain itu, ruang “Antara” disebut juga dengan istilah “ruang ambang”, “liminitas”, “ruang ketiga”, zona “ta’āruf”, atau dalam bahasa M. Amin Abdullah disebut dengan zona “in between”, atau “barzakh” dalam istilah kaum sufi, atau dalam istilah Mu’tazilah-nya disebut dengan zona manzilah baina manzilataini, atau dalam bahasa Alquran disebut dengan zona lā syarqiyyah wa lā garbiyyah.

Sekalipun ada banyak istilah yang digunakan, namun semuanya mengarah pada maksud yang sama. Sama-sama meniscayakan dialog-dialektis dan perjumpaan antar berbagai entitas yang heterogen nan plural [ras, suku, agama, budaya, adat, bahasa, dll.]. Sekaligus melahirkan “identitas baru” yang amat “khas” sebagai hasil dari proses dialog, perjumpaan dan interaksi tersebut.

Selain itu, kesemua istilah yang bermuara pada konsep “Antara” tersebut sejatinya hendak menegaskan karakter moderat, luwes, dinamis dan terbuka. Karakter Hangemot, Hamengku dan Hangemong-lah kalau dalam istilah Jawa-nya.

Sayangnya, ruh ke-Nusantara-an tersebut perlahan mulai ‘dikikis’, ‘dimutilasi’ dan bahkan ‘dibinasakan’ oleh ‘egoisme uniformitas’ sekelompok orang. Baik dalam bentuk primordialisme, radikalisme, terorisme, liberalisme, anarkisme, Arabisme dan seabrek ‘isme’ lainnya.

Kondisi ini juga terjadi di dalam konteks yang lebih spesifik, yakni konteks keislaman di negeri ini, misalnya. Karakater keislaman Nusantara yang sejak sedari dulu sudah tertanam, kini mulai didestruksi oleh sekelompok pengusung egoisme uniformitas. Mereka mencoba mengikis dan bahkan mencabut ‘ruh’ ke-Nusantara-an yang sudah sangat melekat sekaligus mewarnai corak keislaman di negeri ini.

Sebab, bagi mereka, Islam ya Islam. Islam ya Alquran dan Hadis. Bahkan kalau berkaitan dengan wilayah, Islam ya di Arab(?). Bukan serat. Bukan tembang. Bukan wayang. Bukan pula ijtihad para ulama dan ajengan. Bukan Jawa. Bukan Sumatera. Bukan Sulawesi. Bukan Kalimantan. Bukan pula Papua. Sehingga dengan dalih “menjaga kemurnian” Islam, dengan lantang dan gampangnya mereka men-judge haram, bid’ah, kafir, dan semacamnya.

Akibatnya, karakter (ke)Islam(an) yang unik nan khas: moderat, luwes, dinamis, akomodatif dan terbuka berubah menjadi karakter yang garang, statis-Arabis-tekstualis. Sebab, seperti diketahui bersama, gejolak perang masih sangat kuat di kawasan Arab atau Timur Tengah.

Dan, hal ini tidak menutup kemungkinan berpengaruh pada karakter keislaman di sana. Karakter garang. Karakter pedang. Pun karakter perang. Sekalipun demikian, bukan berarti penulis anti-Arab.

Selain itu, upaya destruktif lainnya yang muncul adalah gerakan untuk merasionalisasikan, mengilmiahkan keislaman khas Nusantara. Dengan kata lain, ada gerakan untuk meng-uniform-kan keislaman Nusantara via paradigma rasional dan ilmiah.

Sehingga segala sesuatu yang tidak rasional dan ilmiah dari khazanah keislaman Nusantara dianggap sebagai khurafat, irasional, non-ilmiah dan bahkan ahistoris. Bukan bagian dari keislaman. Kecenderungan ini begitu kuat. Khususnya di kalangan akademisi.

Sejatinya dua kecenderungan tersebut sama-sama hendak mengikis, memutilasi, dan bahkan membinasakan karakter khas keislaman Nusantara. Hanya saja, yang satu bergerak melalui kecenderungan tekstualis-statis atau dalam bahasanya M. Abid al-Jabiri disebut dengan nalar bayani. Sedangkan yang satunya lagi bergerak melalui kecenderungan rasional-ilmiah yang disebut nalar burhani.

Keduanya lupa bahwa masyarakat Nusantara ini, sebagaimana ruhnya, selain memainkan nalar bayani dan burhani, juga sangat apik dalam memainkan nalar irfani-nya. Sebab, tanpa melibatkan nalar irfani sangat mustahil tumbuh kesadaran heterogenitas, diversitas dan pluralitas.

Bahkan karakter moderat, luwes, dinamis, terbuka, hangemot, hamengku dan hangemong pun sangat mustahil menjadi bagian dari masyarakat Nusantara ini tanpa ada peranan nalar irfani. Mengenai hal ini, M. Amin Abdullah pernah menyatakan dalam sebuah artikelnya:

“Agama-agama di dunia yang tidak memiliki pola pikir irfani akan sangat kesulitan menghadapi realitas pluralitas keberagamaan umat manusia baik internal maupun eksternal… Hanya pola pikir epistemologi irfani inilah yang dapat mendekatkan hubungan sosial antar umat beragama, meskipun secara sosiologis mereka tetap sah untuk tersekat-sekat dalam entitas dan identitas sosial-kultural mereka sendiri-sendiri lewat tradisi formal-tekstual keagamaannya. Secara aksiologis, budaya dan masyarakat Indonesia lebih menghormati karakter ‘arif (irfani) dan bukannya ‘alim (bayani) untuk hal-hal yang terkait dengan kompleksitas pergaulan sosial, budaya dan keagamaan.” (Abdullah, 2011: 16)

Karakter ‘arif inilah yang menjadi kekuatan, keunikan dan kekhasan sekaligus menjadi pijakan survival keislaman Nusantara. Islam masih bisa hidup berdampingan dengan agama-agama lain yang memang sudah ada sebelumnya di negeri ini.

Bahkan keislaman Nusantara tampak begitu apresiatif dan akomodatif terhadap heterogenitas, diversitas dan pluralitas budaya yang ada di Nusantara. Dan, kekuatan ini sudah sedari dulu diketahui dan kemudian digunakan oleh para penyebar Islam di bumi pertiwi. Mulai dari para gujarat, walisongo untuk konteks Jawa, dan beberapa tokoh lainnya.

Melalui kekuatan ini pula, Islam Nusantara sejatinya bisa menjadi poros tengah sekaligus kiblat ketiga Islam dunia. Karakter ta’āruf yang menjadikan corak keislaman Nusantara moderat, dinamis, akomodatif, toleran, dan terbuka adalah modal utama untuk menjadi poros tengah Islam dunia.

Selain itu, ruh ke-Nusantara-an yang menjadikan (ke)Islam(ke) Nusantara ini berkarakter lā syarqiyyah wa lā garbiyyah sudah tentu bisa memberi peluang untuk menjadi kiblat ketiga [studi] Islam dunia, yang selama ini berkiblat ke [studi] Islam Barat dan [studi] Islam Timur [Tengah].

Di mana Barat lebih mengutamakan dimensi rasionalitas, sedangkan Timur [Tengah] lebih pada dimensi spiritualitas. Sementara di Nusantara keduanya dipadukan dengan mengambil hal-hal positif dari Barat dan Timur [Tengah]. Ditambah dengan kekayaan lokal yang amat berlimpah.

Sekedar penegas sekaligus renungan untuk menjadikan Nusantara sebagai kiblat ketiga [studi] Islam dunia, penulis kutipkan cerita pengalaman Nina Nurmila, seorang Fullbright Visiting Professor di University of Redlands, Amerika:

“Berdasarkan pengalaman penulis (Nina Nurmila) sebagai Fullbright Visiting Professor di University of Redlands, Amerika (September 2008-Juni 2009), sebagian akademisi Amerika sangat tertarik untuk belajar Islam dari pengajar Muslim Indonesia. Alasannya, selama ini studi Islam lebih berfokus ke Timur Tengah, padahal Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia.

Selain itu, mereka sudah jenuh mempelajari Islam yang berfokus pada kawasan Timur Tengah yang cenderung penuh konflik. Oleh karena itu, mereka ingin mengetahui perspektif Islam dari negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia yang dapat hidup damai dengan beragam agama lain.

Dengan kata lain, Indonesia memiliki versi Islam yang unik: yang moderat, pluralis, dan damai. Keunikan ini sangat dibutuhkan masyarakat Amerika yang ingin mengimbangi image media yang negatif tentang Islam.” (Nurmila, 2009)

Namun, hal itu akan tercapai kalau kita sendiri sebagai masyarakat Nusantara mengerti akan ‘ruh’ ke-Nusantara-an dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan keberagamaan kita sehari-hari. Pun demikian sebaliknya. Inilah PR kita bersama. Seperti itu, bukan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related articles

Penyakit Ain itu Apa, Penyebab dan Doa Mengatasinya

IslamIndonesia.co – Penyakit Ain itu apa? mungkin itulah yang saat ini sedang dipikirkan. Sebab sebagian besar orang masih...

Eskalasi Konflik Israel Palestina dan Bantuan Kemanusiaan Negara Lain

IslamIndonesia.co – Konflik Israel Palestina masih berkepanjangan, seperti tidak ada akhirnya. Sampai saat ini serangan masih terjadi. Pada 7...

Khutbah Idul Fitri: Titik Awal Memulai Hidup Baru

IslamIndonesia.co - السلام عليكم ورحمة الله وربركاته الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله...

5 Sunnah di Hari Raya Idul Fitri

IslamIndonesia.co - Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang sangat penting bagi umat muslim di seluruh dunia.  Pada hari...