Fiqih Wanita: Pertanyaan Seputar Puasa Ramadhan

Achmad Fachrur Rozi

1

Link

IslamIndonesia.co – Wanita dalam Islam diistimewakan sedimikian rupa dengan adanya beberapa syariat khusus yang mengikatnya. Seperti halnya di bulan Ramadhan, ada beberapa syariat yang khusus membahas seputar Wanita. Berikut ini beberapa masalah yang sering ditanyakan seorang Wanita ketika puasa Ramadhan, antara lain:

Mencicipi makanan

Bagi Wanita yang terbiasa memasak dan mencicipi masakannya, ketika bulan puasa datang ia ragu Apakah diperbolehkan atau tidak? Hukumnya tidak mengapa wanita mencicipi masakannya, asal sekadarnya saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya. Seperti halnya berkumur-kumur ketika berwudhu.

Hukum Puasa Bagi Perempuan Hamil dan Menyusui

Meskipun setiap tahunnya menjalankan puasa Ramadhan, namun perlu diingatkan kembali hukum puasa bagi perempuan hamil dan menyusui. Apakah rukhsah puasa bagi keduanya termasuk golongan مَرِيْضاً (sakit) atau seperti أو على سفر (Musafir) sehingga diperbolehkan tidak berpuasa, namun wajib menggantinya dengan puasa di luar Ramadhan, atau termasuk kategori وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَه (dan bagi orang yang berat menjalankannya) sehingga mereka cukup dengan membayar fidyah saja?

Berkaitan dengan masalah ini, ada hadis Rasulullah SAW. menjelaskan:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الحَامِلِ أَوِ المُرْضِعِ الصَّوْمَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala meringankan kewajiban puasa dan separuh shalat bagi musafir, dan meringankan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan perempuan menyusui.” (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik).

Hadis ini belum menjelaskan secara rinci mengenai bentuk rukhshah-nya (keringanan), apakah menggantinya dengan puasa atau dengan fidyah saja. Berikut penjelasannya:

Menurut madzhab Syafi’I dan Hanafi, jika alasannya tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya saja, maka ia wajib mengganti puasanya saja, tidak perlu membayar fidyah, seperti halnya orang sakit.

Pada madzhab Syafi’I dan Hambali, jika alasannya tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kesehatan janinnya dan berkurang air susunya atau kualitasnya terganggu, menurut mayoritas ulama, ia diperbolehkan tidak puasa namun wajib menqadha (mengganti) puasanya dan membayar fidyah.

Sedangkan Madzhab Maliki membedakan antara wanita hamil dan wanita yang menyusui. Wanita yang hamil hanya wajib mengqadha puasa. Sedangkan wanita menyusui wajib mengganti puasa dengan bayar fidyah.

Ada juga pendapat lain berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, bahwa keduanya cukup dengan membayar fidyah saja, tanpa mengqadha puasanya. Sebab disamakan hukumnya dengan orang-orang yang berat menjalankannya (وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَه ).

Mengkonsumsi tablet anti haid pada bulan Ramadhan

Alangkah lebih baiknya jika seorang wanita tidak mengkonsumsi tablet anti haid. Hal ini dimaksudkan untuk membiarkan darah kotor itu keluar sebagaimana mestinya. Bisa jadi akan berdampak negatif pada kesehatan wanita tersebut dan bisa menimbulkan bahaya bagi rahimnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw berikut:

لا ضرر ولا ضرارا” رواه ابن ماجة في الأحكام

“Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya, juga tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)

Namun jika sudah terlanjur mengonsumsinya, maka hukumnya sebagai berikut: Jika darah haidnya telah berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqadha. Namun jika masih ragu apakah darah tersebut sudah berhenti atau belum, maka hukumnya seperti wanita haid, ia tidak boleh melakukan puasa.

Bagaimana Jika Darah Haid Keluar Jelang Berbuka Puasa?

Mufti Agung Mesir, Syekh Prof Syauqi Al Allam, menjelaskan jawaban atas pertanyaan “apakah seorang wanita harus membatalkan puasanya jika datang haid pada waktu-waktu terakhir menjelang waktu maghrib?”

Syekh Allam menyampaikan, bahwa wanita tersebut harus membatalkan puasanya jika datang haid. Meskipun itu datangnya di saat-saat terakhir menjelang waktu buka puasa atau maghrib. Ia juga mengingatkan, membatalkan puasa bagi perempuan yang dalam keadaan seperti demikian harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar menjaga perasaan orang-orang yang berpuasa. 

Sebaliknya, orang yang sedang berpuasa juga tidak boleh mudah menghakimi orang yang tidak puasa karena mungkin saja ada alasan syar’i di balik itu. 

Selanjutnya, apabila mendapat kondisi suci dari haid pada waktu sahur sebelum fajar dan pada waktu tersebut tidak memungkinkan untuk mandi, apakah harus tetap puasa? 

Syekh Allam melanjutkan penjelasannya, bahwa seorang wanita wajib berpuasa jika darah haidnya berhenti sebelum waktu subuh. Dalam kondisi ini, ia harus berniat untuk berpuasa sebelum waktu subuh dan mengakhirkan waktu mandinya, yaitu setelah fajar.

Wanita Istihadhah saat Puasa, Bagaimana Cara Bersuci dan Shalatnya?

Darah istihadhah merupakan darah yang keluar di selain hari-hari haid dan nifas. Kasus yang biasa terjadi adalah ketika darah terus-menerus keluar melebihi batas maksimal haid, yaitu 15 hari. Wanita yang mengalaminya disebut dengan mustahadhah.

Mustahadhah dapat dihukumi sebagai orang yang suci. Masih tetap diwajibkan puasa dan shalat, boleh membaca Al-Qur’an, i’tikaf dan hal-hal lain yang dilarang bagi wanita haid.

Hal yang perlu di perhatikan adalah perbedaan tata cara shalat dan bersuci bagi mustahadhah. Misalnya ketika hendak shalat, wajib membasuh bagian kewanitaannya dan menyumbatnya dengan pembalut atau alat lain yang kiranya dapat meminimalisir atau menghentikan darah. Baru setelah itu, berwudhu dengan niat memperbolehkan shalat, tidak dengan niat menghilangkan hadats.

Demi menjaga kehati-hatian dalam beribadah, wudhu harus dilakukan setelah masuk waktu shalat, tidak sah sebelum masuk waktu. Kemudian setelah berwudhu, ia diwajibkan untuk langsung melaksanakan shalat dan tidak boleh diselingi dengan aktivitas lainnya. Setiap kali shalat fardhu, ia berkewajiban mengulangi wudhu dan mengganti pembalutnya. Sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Nawawi berikut:

وَالِاسْتِحَاضَةُ حَدَثٌ دَائِمٌ كَسَلَسٍ فَلَا تَمْنَعُ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ، فَتَغْسِلُ الْمُسْتَحَاضَةُ فَرْجَهَا وَتَعْصِبُهُ، وَتَتَوَضَّأُ وَقْتَ الصَّلَاةِ، وَتُبَادِرُ بِهَا فَلَوْ أَخَّرَتْ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ كَسَتْرٍ وَانْتِظَارِ جَمَاعَةٍ لَمْ يَضُرَّ، وَإِلَّا فَيَضُرُّ عَلَى الصَّحِيحِ. وَيَجِبُ الْوُضُوءُ لِكُلِّ فَرْضٍ، وَكَذَا تَجْدِيدُ الْعِصَابَةِ فِي الْأَصَحِّ 

Istihadhah adalah hadats yang permanen seperti orang beser, maka ia tidak mencegah puasa dan shalat. Maka mustahadhah (diwajibkan) membasuh vaginanya dan membalutnya. Ia (wajib) berwudhu pada waktu shalat, ia (wajib) segera melaksanakan shalat. Bila mengakhirkannya karena kemaslahatan shalat, seperti menutup (aurat), menanti jamaah, maka tidak bermasalah. Bila bukan karena demikian, maka bermasalah menurut pendapat al-shahih. Wajib berwudhu untuk setiap fardhu, demikian pula memperbarui balutan menurut pendapat al-Ashah,” (al-Imam al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, juz 1, hlm. 19).

Ulama menjelaskan bahwa yang wajib ia lakukan adalah membasuh bagian kewanitaannya dan membalutnya. Tidak dengan menyumbatnya atau bahkan memasukkan kapas guna menyerap darah istihadhah. Dalam masalah ini, maslahat puasa lebih didahulukan daripada maslahat shalat. Bila ia tetap menyumbat bagian kewanitaannya, puasanya batal, meski shalatnya tetap sah. Maka solusi yang tepat adalah dengan tidak menyumbat, agar puasa dan shalatnya sah. Wallahu A’lam.

Tags:

Share:

Related Post

One response to “Fiqih Wanita: Pertanyaan Seputar Puasa Ramadhan”

  1. Mita Rosita Avatar
    Mita Rosita

    Mantap djiwa, jazakallahu Khairan katsiran.

Leave a Comment