Di Balik Kejeniusan Ibnu Katsir

M. Kamalul Fikri

0 Comment

Link

IslamIndonesia.co – Di balik kejeniusan Ibnu Katsir salah satunya berkat lingkungan dan didikan ayahnya yang juga merupakan seorang Ulama pada masa itu.

Nama lengkapnya ialah Abu al-Fida` Ismail bin Umar bin Katsir ad-Damasqi. Namanya melambung bersama dengan karya-karyanya, dan di antara yang paling banyak pengaruhnya hingga sekarang ialah karya tafsirnya yang dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir atau Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Dalam catatan Husain adz-Dzahabi, Ibnu Katsir diperkirakan lahir antara 700–701 H, dan meninggal pada Sya’ban 774 H, dalam usianya yang ke 73 tahun, kemudian dimakamkan bersama dengan gurunya, Ibnu Taimiyyah.

Komentar Ulama Mengenai Ibnu Katsir

Kealiman Ibnu Katsir dan keshalihannya diakui oleh ulama dari berbagai generasi. Di antara ulama yang memberikan pengakuan ialah adz-Dzahabi dalam Mu’jam al-Mukhtash sebagaimana berikut:

اَلْإِمَامُ الْمُفْتِى، اَلْمُحَدِّثُ الْبَارِعُ، فَقِيْهٌ مُتَفَنِّنٌ، مُحَدِّثٌ مُتْقِنٌ، مُفَسِّرٌ نَقَّالٌ، وَلَه تَصَانِيْفُ مُفِيْدَةٌ.

(Ibnu Katsir) adalah seorang imam mufti (pemberi fatwa), al-muhaddits (ahli hadits) yang unggul, pakar beragam keilmuan (ilmuan), muhaddits mutqin (ahli hadits yang hebat), seorang ahli tafsir, dan ia memiliki banyak karya tulisan yang bermanfaat.”

Berdasarkan pernyataan adz-Dzahabi tersebut, kita tahu bahwa kejeniusan Ibnu Katsir bukan hanya dalam satu bidang keilmuan, melainkan pada banyak fann keilmuan. Selain sangat hebat dalam ilmu tafsir, Ibnu Katsir juga unggul dalam disiplin ilmu hadits, pakar beragam keilmuan, dan orang yang memiliki otoritas untuk memberikan fatwa hukum pada masanya. Sebuah capaian yang sangat luar biasa dan sulit ditandingi. Bahkan, Abdul Hayyi bin Ahmad penulis Syadzarat adz-Dzahab fi Ikhbar Man Dzahab juga mengatakan bahwa Ibnu Katsir merupakan orang yang tidak mudah lupa dan memiliki pemahaman yang hebat, sebagaimana dalam kutipan berikut:

كَانَ كَثِيْرَ الْاِسْتِحْضَارِ، قَلِيْلَ النِّسْيَانِ، جَيِّدَ الْفَهْمِ.

(Ibnu Katsir) adalah orang yang banyak ingat (memiliki ingatan kuat), sedikit/jarang lupa, dan bagus pemahamannya.”

Dengan kualitas yang demikian, tak heran bila kemudian banyak ulama yang memberikan pujian kepadanya, termasuk kepada karya-karya yang lahir dari goresan penanya. Di antara pujian yang dialamatkan kepada penulis Tafsir al-Qur’an al-Azhim ini datang dari as-Suyuthi sebagaimana dalam kutipan berikut:

لَهُ التَّفْسِيْرُ الَّذِيْ لَمْ يُؤَلِّفْ عَلَى نَمطِهِ مِثْلُهُ.

(Ibnu Katsir) memiliki karya tafsir yang tidak tertandingi modelnya.”

Selain dalam bidang tafsir, kehebatan Ibnu Katsir dalam kajian hadits juga diakui banyak ulama. Salah seorang muridnya, Syihabbuddin bin Hajji, bahkan memberikan pujian sebagai berikut:

أَحْفَظُ مَنْ أَدْرَكْنَاهُ  لِمُتُوْنِ الْحَدِيْثِ، وَأَعْرَفُهُمْ بِجَرْحِهَا وَرِجَالِهَا، وَصَحِيْحِهَا وَسَقِيْمِهِا، وَكَانَ أَقْرَانُهُ وَشُيُوْخُهُ يَعْتَرِفُوْنَ لَهُ بِذٰلِكَ، وَمَا أَعْرِفُ أَنِّيْ اِجْتَمَعْتُ بِهِ عَلَى كَثْرَةِ تَرَدُّدَى عَلَيْهِ إِلَّا وَاسْتَفَدْتُ مِنْهُ.

(Ibnu Katsir) adalah orang yang paling kuat hafalannya terkait matan hadits yang pernah aku temui, paling mengerti cacat hadits serta keadaan periwayatnya, shahih dan tidaknya, serta para sahabat dan gurunya pun mengakui akan kehebatan Ibnu Katsir tersebut. Dan, ketika aku bergaul-berinteraksi dengannya, hanya manfaat (kebaikan) yang aku peroleh darinya.

Perjuangan Ibnu Katsir dalam Menuntut Ilmu

Lantas, bagaimana Ibn Katsir bisa mencapai kecermerlangan yang tinggi tersebut?

Di balik kejeniusan Ibnu Katsir, kecemerlangan yang diraihnya itu tentu tidak begitu saja diraih tanpa perjuangan. Dalam catatan sejarawan, Ibnu Katsir sejak kecil hidup di lingkungan yang kuat dengan ilmu dan ajaran agama. Ayah Ibnu Katsir, Umar bin Katsir, merupakan seorang ulama di daerahnya dan sempat belajar kepada An-Nawawi dan al-Fazari. Sang ayah dikenal sebagai seorang ahli fiqh, ahli ilmu bahasa, penyair, dan seorang khatib. Ia sangat terkenal dan memiliki laqab Syihabuddin, dan kunyahnya ialah Abu Hafsh. Di tangan sang ayah, Ibnu Katsir dibekali pondasi keagamaan dan keilmuan yang kuat. Setelah kepergian sang ayah, yakni ketika Ibnu Katsir berusia tujuh tahun, ia pindah ke Damaskus bersama kakaknya yang bernama Syekh Abdul Wahab, yakni pada 705 H. Di tempat tersebutlah, ia semakin getol untuk mempelajari berbagai disiplin keilmuan, dalam bimbingan dan pengawasan kakaknya yang merupakan seorang ulama. Mengenai hal ini, Ibnu Katsir dalam mukadimah karya tafsirnya mengatakan:

فَاسْتَغَلْتُ عَلَى يَدَيْهِ فِي الْعِلْمِ فَيَسَّرَ اللّٰهُ مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ وَسَهَّلَ مِنْهُ مَا تَعَسَّرَ.

Kemudain aku pun sibuk belajar dalam bimbingan dan pengawasannya (Syekh Abdul Wahab), Allah pun memudahkan perkara-perkara yang sukar/sulit.”

Berdasarkan pernyataan Ibnu Katsir tersebut, kita tahu bahwa pengarang Tafsir al-Qur’an al-Azhim ini selalu dalam lingkungan yang mendukung ilmu pengetahuan dan agama. Dalam bimbingan kakaknya tersebut, Ibnu Katsir juga diketahui berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya, yakni pada 711 H ketika usianya genap 11 tahun. Bahkan, setelah pindah ke Damaskus itulah, Ibnu Katsir banyak bertemu dengan ulama-ulama dari berbagai disiplin keilmuan. Ia belajar kepada Burhanuddin al-Fazari dan Kamaluddin bin Qadhi Syuhbah terkait fiqh, khususnya fiqh Mazhab Syafi’i, hingga ia pun menjadi seorang ahli fiqh dan menjadi rujukan fatwa hukum. Ia juga berguru kepada Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Syamsuddin adz-Dzahabi, dan memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Ibnu Taimiyah.

Kepribadian Ibnu Katsir

Dalam catatan Muhammad az-Zuhaili, dibalik kejeniusan Ibnu Katsir tersebut selain karena ia dianugerahi kemampuan hafalan yang kuat, pemahaman yang bagus, dan tidak mudah lupa, ia juga dikenal memiliki jiwa yang ringan. Maksudnya ialah bahwa Ibnu Katsir adalah sosok yang dermawan, toleran, berbudi luhur, penuh perhatian kepada muridnya, dan sosok yang menyenangkan ketika mengajar. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang sangat sabar, suka bersedekah, dan sangat ramah, baik kepada teman-temannya maupun orang asing.

Sebagai ulama besar, Ibnu Katsir juga diketahui sangat menghindari permusuhan. Ia merupakan orang yang adil, bahkan lebih adil jika dihadapkan dengan orang yang berbeda pandangan dengannya. Hal ini tergambar ketika Taqiyuddin berselisih pendapat dengan Ibnu Katisr, dan penulis Tafsir al-Qur’an al-Azhim itu memilih untuk tidak memperpanjang persoalan. Meskipun ia sudah menjadi ulama besar, Ibnu Katsir tetap dikenal sebagai pribadi yang sangat menghormati para gurunya dan sering menyebut nama mereka ketika menjelaskan sesuatu yang bersumber dari mereka. Ia juga sangat pengertian, tekun, dan sabar, tak heran bila berbagai keilmuan yang begitu pelik mampu ia pahami.

Begitulah kehidupan Ibnu Katsir, banyak hal di balik kejeniusannya. Selain berasal dari keluarga yang sangat menjunjung agama dan keilmuan, ia juga dianugerahi hafalan kuat, pemahaman yang bagus, tidak mudah lupa, dan dipupuk dengan sifat-sifatnya yang luhur. Kejeniusan Ibnu Katsir pun bisa dikatakan semakin mencapai puncaknya karena ia bukan orang yang sombong dengan capaiannya. Ibnu Katsir adalah pribadi yang tawadlu’, taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta sosok sederhana yang setiap waktu bibirnya selalu melantunkan tasbih dan tahlil, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Habib al-Halabi. Di balik kejeniusan Ibnu Katsir, dengan kepribadian dan amalan yang demikian, tak heran bila ia pun hingga kini masih menjadi bagian dari ulama yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan karya-karyanya. Ia pun tidak hanya dikenal sebagai ulama tafsir, tetapi juga sebagai ulama hadits, sejarah (tarikh), fiqh, dan lain-lain.

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment