Stop Gunakan Insya Allah untuk Ingkar Janji, Allahu Akbar untuk Menghakimi

Date:

Share post:

IslamIndonesia.co – Ketika kecil—sebelum belajar bahasa Arab—saya mengartikan kalimat insya Allah sebagai; lihat nanti, kalau bisa, tidak janji, dan beberapa arti lainnya. Saya memaknai seperti itu karena seringkali tindakan pengucapnya setelah itu demikian adanya. Saya tidak pernah puas jika ada sebuah janji yang dipungkasi dengan kalimat “insya Allah”. Oleh karena itu, acap kali saya melarang teman saya mengucap kalimat itu, “jangan insya Allah, dong, serius.” Begitulah kira-kira yang saya katakan jika sedang menjalin sebuah janji yang memang harus ditepati.

Hal demikian terjadi karena rata-rata orang-orang yang memilih memakai kalimat itu tidak yakin atas apa yang telah mereka ucapkan. Mereka kelihatan begitu ragu-ragu. Bahkan, tidak jarang orang yang mengucapkan kalimat itu kemudian mengingkari janjinya seperti tanpa ada yang salah. Lalu, ia dengan enteng akan bilang, “kan kemarin sudah saya bilang, insya Allah.”

Sangat disayangkan, kalimat yang seharusnya amat sakral itu kehilangan makna aslinya. Padahal, perintah mengucap insya Allah ada di dalam al-Qur’an.

وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ ٢٣ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۖوَاذْكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيْتَ وَقُلْ عَسٰٓى اَنْ يَّهْدِيَنِ رَبِّيْ لِاَقْرَبَ مِنْ هٰذَا رَشَدًا ٢٤

Jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, ‘Aku pasti melakukan hal itu besok,’ kecuali (dengan mengatakan), ‘Insyaallah.’ Ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS. al-Kahfi [18]: 23 – 24).

Pengucapan insya Allah sama sekali bukan tanda bahwa sebuah janji dapat dilanggar, namun sebagai bentuk pengakuan bahwa segala sesuatu yang direncanakan kembalinya kepada kehendak Allah.

Dalam konteks ini, dulu saya memposisikan diri sebagai orang yang tidak mengerti makna dari sebuah kata atau kalimat yang diucapkan. Saya memahami makna dari sebuah kata dan kalimat yang diucap lawan bicara saya lewat perilaku yang mengiringi mereka. Saya tidak mencari maknanya di dalam kamus. Saya juga tidak sempat bertanya arti dari kata atau kalimat yang mereka ucap. Sekali lagi, saya menafsirkan sendiri lewat perilaku yang mengiringi pengucapan kata atau kalimat itu.

Pada kasus lain, saat pertama kali menetap di Jogja, saya berkenalan dengan banyak sekali bahasa daerah yang dibawa teman baru saya. Saya mulai belajar bahasa Madura, Batak, Sunda, Jawa, Ngapak, Banjar, dan bahasa-bahasa lainnya. Pada gilirannya, saya begitu akrab dengan kata jancok, bajingan, patẻk, kehed, dan sejenisnya. Dalam konteks persahabatan yang telah dijalin dengan baik, kata-kata tersebut adalah lambang keakraban. Maknanya bisa saja berubah menjadi; keren, bagus, baik, bahkan hebat. Sebab itulah, saya ataupun kawan saya tidak akan marah atau tersinggung jika diteriaki dengan kata-kata keakraban itu.

Kata-kata yang mulanya berkonotasi negatif tersebut beralih makna menjadi positif. Pengucapnya mengucapkan kata-kata itu dengan wajah ceria, sambil tersenyum. Tentu saja, dengan suasana yang begitu akrab. Tidak ada kebencian atau permusuhan yang timbul setelah itu. Akhirnya, memang banyak orang mengakui kata-kata yang pada mulanya menjadi umpatan tersebut sebagai salah satu bentuk ekspresi keakraban. Bahkan muncul anggapan, belum bisa dikata sahabat jika belum saling memanggil dengan kata-kata itu.

Belakangan, kita sering menyaksikan orang-orang menggaungkan nama-nama Tuhan dengan lantang di jalan-jalan, dibantu dengan lengkingan suara toa yang menggema ke setiap penjuru, dan disambut dengan teriakan lain yang juga berisi nama-nama Tuhan. Namun, wajah-wajah mereka masam bahkan penuh amarah, dan membuat takut orang-orang yang memandangi mereka. Tangan-tangan mereka mengepal kuat seperti siap untuk memukul siapa saja yang berani berselisih dengan mereka. 

Mereka berteriak sambil mendengungkan Allahu Akbar. Sebuah kalimat yang bermakna “Allah Maha Besar”. Kalimat yang menjadi salah satu dari rukun salat. Kalimat yang seharusnya menjadi pengakuan atas kebesaran Allah dari apapun yang ada, termasuk membuang perasaan bahwa diri atau kelompok sendiri yang paling besar.

Bagaimana mungkin Allahu Akbar diucap, sementara pada saat yang sama kesombongan sedang meliput? Ironisnya, kalimat suci itu sering diseret-seret oleh beberapa orang ketika mereka sedang melakukan kekerasan. Mereka memukul sambil berteriak Allahu Akbar. Mereka mencaci-maki sambil berteriak Allahu Akbar. Mereka menghasut sambil berteriak Allahu Akbar. Mereka merusak fasilitas umum sambil berteriak Allahu Akbar.

Barangkali, kesucian makna Allahu Akbar telah tereduksi. Orang-orang yang tidak akrab dengan kalimat itu akan memahaminya dengan makna yang lain. Sesuai dengan tafsir mereka pada saat kalimat itu sering diucap. Sama seperti yang dulu saya alami ketika menafsir makna Insya Allah

Bisa saja sebagian orang telah memahami makna Allahu Akbar sebagai; Pukullah, Bakarlah, Rusaklah, Bunuhlah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Related articles

Penyakit Ain itu Apa, Penyebab dan Doa Mengatasinya

IslamIndonesia.co – Penyakit Ain itu apa? mungkin itulah yang saat ini sedang dipikirkan. Sebab sebagian besar orang masih...

Eskalasi Konflik Israel Palestina dan Bantuan Kemanusiaan Negara Lain

IslamIndonesia.co – Konflik Israel Palestina masih berkepanjangan, seperti tidak ada akhirnya. Sampai saat ini serangan masih terjadi. Pada 7...

Khutbah Idul Fitri: Titik Awal Memulai Hidup Baru

IslamIndonesia.co - السلام عليكم ورحمة الله وربركاته الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله...

5 Sunnah di Hari Raya Idul Fitri

IslamIndonesia.co - Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang sangat penting bagi umat muslim di seluruh dunia.  Pada hari...